Think. Feel. Share. Inspire.

Sebulan yang lalu, tanggal 26 Mei 2013, putra pertamaku, yang dalam setiap harapku senantiasa kuselipkan namanya, Ahmad Raihan Fachry Al Ayyubi, telah berpulang kepadaNya.

Permata jiwaku, yang kukandung selama 9 bulan, yang selalu kusemai dengan doa sejak aku tahu ia tumbuh di dalam rahimku, telah tiada..

Ia begitu kuat, begitu tangguh, semangatnya untuk bertahan hidup sangatlah besar. Ia mengajarkan padaku dan suamiku, bahwa dalam hidup, adalah sebuah keharusan untuk senantiasa pantang menyerah, untuk senantiasa mengerahkan usaha terbaik, untuk meyakini bahwa janji Allah pada hambaNya yang bersungguh – sungguh berdoa dengan ikhtiar sekeras mungkin adalah suatu hal yang niscaya. Bahwa setelah hujan akan datang pelangi, bahwa setelah badai akan muncul mentari dengan sinarnya yang lembut menyapa.

Semua bermula dari diagnosis obgyn saat aku melakukan USG 4 dimensi. Usia kehamilanku saat itu 29 minggu. Usia yang cukup ideal karena saat itu ukuran janin tidak terlalu kecil dan tidak pula terlampau besar. Alhamdulillah semua organnya sempurna, jumlah jari kaki dan tangan lengkap, telinga pun sepasang. Semuanya berukuran normal. Alangkah terkejutnya kami, pada akhir sesi konsultasi, dokter menyampaikan dengan nada yang hati – hati, bahwa tampak adanya atresia (penyumbatan) di daerah usus janinku. Sedih, iya. Masygul, iya. Tapi saat itu kami tetap optimis, bahwa si kecil akan mampu bertahan dan kondisinya akan membaik seiring waktu.

Minggu demi minggu berlalu. Setiap kali gambar janinku tampil di layar monitor USG, setiap kali itu pula kami menahan nafas, deg – degan menanti hasilnya. Dan ternyata, seiring dengan semakin bertambahnya usia kehamilanku, semakin terlihat jelas bahwa ukuran lingkar perut janinku jauh lebih besar daripada janin seusianya. Aku tidak puas dengan hasil USG di obgyn yang kupilih. Aku pun berusaha mencari second opinion. Aku dan suamiku mendatangi obgyn lainnya yang sudah tersohor pula keahliannya di bidangnya, berharap mendapatkan hasil yang berbeda. Dan ternyata, beliau pun mengungkapkan hasil yang sama, bahkan beliau menjelaskan kemungkinan penyakit yang diderita anakku sama dengan cucu kedua pemimpin negriku, yaitu hisprung.

Pikiranku sangat kalut. Muncul pertanyaan tanpa bisa ditahan, mengapa hal ini bisa terjadi? Selama ini aku berusaha menjaga asupan nutrisi yang kumakan setiap hari, aku berusaha menjaga stamina agar tidak kelelahan mengingat aktivitas yang cukup padat. Dan alhamdulillah selama kehamilan aku tidak pernah sakit sama sekali. Morning sickness pun sangat jarang kualami. Vitamin dari dokter serta susu kehamilan pun rajin kukonsumsi. Tes darah untuk memeriksa apakah aku terkena toxo, CMV, atau rubella pun menunjukkan hasil negatif. Lantas apa penyebabnya? Pertanyaan itu selalu terngiang dalam kepalaku. Tapi aku tidak mau larut dalam kesedihan. Aku mencoba memperbanyak porsi sayur dan buah – buahan. Aku minum air putih, air kelapa hijau, air zam zam dengan harapan bisa melakukan detoksifikasi yang nantinya berpengaruh pada tumbuh kembang janinku agar ia semakin sehat. Sangat besar keyakinanku bahwa apa yang dialami si kecil akan berubah. Akan datang keajaiban yang membuatnya tumbuh sehat sebagaimana bayi normal.

Hari demi hari kujalani dengan waswas. Setiap saat aku berdoa mudah – mudahan aku bisa melahirkan bayi yang lucu dan sehat secara normal. Namun apa hendak dikata, obgynku menyarankan operasi Caesar, karena ada indikasi medis pada janinku yang membuat dokter tidak mau mempertaruhkan keselamatanku dan janinku. Aku pun mengubah cara pandangku, aku siap melahirkan dengan cara apapun, asal bayiku selamat. Menjadi ibu sejati bukanlah ditentukan oleh cara melahirkannya, tetapi lebih pada komitmen untuk menjaga dan merawat amanah dari Tuhan sebaik – baiknya.

Menjelang persalinan, saat usia kehamilanku 8 bulan, aku menanyakan pada obgynku, langkah apa yang dapat diusahakan dokter agar anakku bisa sembuh? Bagai tersambar petir rasanya saat dokter menjawab bahwa anakku harus dilakukan pembedahan. Dan itu harus dilakukan sesegera mungkin setelah ia lahir. Aku terduduk lemas. Tangisku pun pecah. Aku tidak sanggup menahan perasaan saat membayangkan bahwa anak sekecil itu harus dioperasi. Ya Allah… ya Allah… kuatkan hamba dan anak hamba, begitu pintaku.

Lima hari sebelum tanggal persalinan yang kurencanakan, aku merasakan kontraksi yang hebat. Awalnya hanyalah rasa mulas dan perut melilit yang tidak tentu datangnya. Menjelang maghrib, kontraksi itu mulai teratur. Intervalnya semakin dekat. 10 menit sekali gelombang rasa sakit itu menerpaku. Keluargaku mulai khawatir, dan segera membawaku ke Rumah Sakit Islam Jemursari. Kupilih rumah sakit itu karena ia pro ASI, dan para perawat disana sangat ramah, serta memberikan pelayanan yang menyenangkan. Suasananya pun sangat tenang, cukup membuat nyaman. Begitu sampai di sana, suster langsung memeriksa detak jantung janinku selama satu jam. Normal. Kontraksi pun semakin intens, 3 menit sekali. Suster lalu melakukan pemeriksaan dalam, namun ternyata pembukaan masih nol. Aku memutuskan untuk menginap di rumah sakit karena air ketuban sudah merembes. Semalaman tidak bisa tidur. Subhanallah.. aku baru bisa memahami mengapa kedudukan ibu sangat dimuliakan dalam Islam. Dalam kelembutannya, ibu menyimpan kekuatan yang luar biasa.

Pagi jam setengah 9 aku dipersiapkan menuju ruang operasi. Kejadiannya begitu cepat, hingga aku tidak sempat merasa gelisah, takut, khawatir dengan kondisiku. Bayangan ruang operasi yang katanya menyeramkan pun tidak kuperhatikan. Yang aku pikirkan hanyalah kondisi anakku. Tepat jam 9.40 buah hatiku lahir. Ia menangis keras, aku ingin sekali melakukan IMD saat itu juga. Namun hal itu tidak memungkinkan karena kondisi medis anakku. Ia harus segera menjalani pemeriksaan untuk mempersiapkan dirinya dioperasi. Ternyata anakku mengalami atresia duodenum, yaitu tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum (bagian terkecil dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus. Kelainan bawaan ini memang langka, terjadi pada 1 banding 3.000 – 4.500 kelahiran hidup dan masih belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya hingga sekarang.

Leave a comment