Think. Feel. Share. Inspire.

Operasi pertama

Jam 04.00 tanggal 23 Maret 2013, pada usia dua hari ia menjalani operasi jejunostomy, semacam pembuatan lubang ke dalam jejunum lewat dinding perut. Dokter memotong bagian usus yang buntu. Karena ukuran kedua usus yang terpisah tidak sama, akhirnya dokter memutuskan untuk menunda penyambungan usus dan membuatkan anus buatan di perut sembari menstimulasi usus agar tumbuh sama besar. Alhamdulillah dokter bedah anakku merupakan yang terbaik di bidangnya. Beliau seringkali dipercaya menangani operasi besar pada bayi di berbagai daerah di Indonesia. Padanya kusematkan harapan – selain pada Allah tentunya- bahwa ia pun mampu melaksanakan operasi anakku dengan sukses.

Saat aku menemui anakku di ICU, hatiku rasanya pedih melihatnya terbaring lemah tanpa sadar pasca operasi. Wajahnya begitu imut, menimbulkan rasa sayang dan iba pada setiap orang yang melihatnya. Aku mengajaknya berbicara, bersenandung, melantunkan doa, agar ia merasa bahwa ia tidak sendiri. Agar ia merasa dikelilingi oleh cinta yang besar dari ayah ibunya. Agar ia kuat dan mampu bertahan. Alhamdulillah ia selalu merespon setiap kali diajak berkomunikasi.

Dua minggu setelahnya, dokter bedah anakku melakukan pemeriksaan barium enema untuk melihat apakah kondisi ususnya sudah sama besar dan siap dilakukan penyambungan. Alhamdulillah hasilnya sangat menggembirakan. Dokter bilang bahwa esoknya sudah bisa dilakukan operasi penyambungan. Aku dan suami beserta keluarga sangat lega mendengar berita ini. Kami bersukacita, karena itu berarti anakku tidak akan menginap di rumah sakit terlalu lama.

Namun alangkah khawatirnya kami saat malam harinya Raihan -nama panggilan anakku- panas. Suhu tubuhnya mencapai 38 C padahal sebelumnya selalu stabil. Dokter meminta operasinya ditunda, menunggu suhu badannya turun dulu. Akhirnya semalaman kami memonitor suhu badannya dan syukurlah, siangnya suhunya sudah kembali normal. Aku menungguinya di rumah sakit sampai sore. Senang membayangkan esok harinya operasi penyambungan akan dilakukan. Namun bahagia itu tidak berlangsung lama. Kami begitu terkejut saat suster menyerahkan hasil tes darah dan menyampaikan hasil analisisnya dengan sangat hati – hati. Semua komponen darahnya normal, kecuali trombosit yang terjun bebas menjadi 0,6 sekian dari sebelumnya 100 koma sekian. Kami begitu pucat pasi, dan dokter meminta agar dilakukan transfusi trombosit malam itu juga.

Aku menemui anakku dan memberinya semangat untuk bisa bertahan. Ia menangis, meronta – meronta seakan kesakitan. Kukuatkan diriku untuk tidak meneteskan airmata di hadapannya. Aku harus mampu menghiburnya, walaupun hatiku serasa lebur. Esoknya saat diperiksa, kadar trombositnya meningkat hingga 10. Dokter bedah anak dan dokter biusnya tidak mau melaksanakan operasi jika kadar trombositnya belum mencapai 100. Jika dipaksakan, resikonya akan terjadi perdarahan hebat. Ya Allah.. jauh sekali dengan kondisinya saat itu. Namun kami harus tetap optimis bisa mencapai target.

 

Operasi kedua

Selama seminggu setelahnya, dilakukan transfusi TC, PRC, FWB, FFP beberapa kantong untuk menstabilkan kondisi anakku. Selama itu pula, kondisi anakku naik turun. Akhirnya tanggal 17 April 2013 pukul 09.00, pada usia 28 hari anakku menjalani operasi penyambungan. Aku tidak sanggup berbicara dengan siapapun saat operasi berlangsung. Bibirku melafadzkan dzikir, memunajatkan doa penuh harap agar operasinya berhasil. Sebentar sebentar aku melihat pintu, berharap bukan gambaran dokter yang membawa kabar buruk yang muncul. Sungguh tidak mampu dilukiskan dengan kata – kata apa yang yang berkecamuk dalam pikiranku saat itu.

Jam 12 siang perawat membuka pintu dan mempersilakan kami masuk. Setelah bertemu dokter bedahnya, beliau menjelaskan bahwa operasinya berjalan dengan sangat lancar dan tidak terjadi bleeding (perdarahan). Bersyukur sekali mendengar berita itu. Lalu beliau mempersilakan kami menemui Raihan. Subhanallah… hanya dalam 2 jam pasca operasi ia sudah bisa menangis. Perawat di ruang neonatus pun ikut bahagia dan lega mengetahui kabar ini. Mereka mengantar Raihan masuk ke ruang ICU sembari menunggu kondisinya pulih pasca operasi.

Karena imunitasnya yang rendah, kami menyetujui saran dokter untuk memberinya obat IVIg yang berisi immunoglobulin dan harganya cukup tinggi. Saat itu kami berpikir untuk memberikan yang terbaik pada si kecil. Harta bisa dicari tapi nyawa harus segera diselamatkan.

Alhamdulillah kondisinya berangsur membaik dan bahkan 2 minggu setelahnya, saat Raihan berusia sebulan lebih, aku bisa menggendongnya untuk pertama kali. Tak tergambarkan bahagia yang kurasa saat itu, aku bisa menciumi wajahnya, aku bisa menyentuhnya, aku bisa menggendongnya sepuasku setelah sebulan lamanya berada di dalam inkubator. Subhanallah..  kebahagiaan menjadi ibu begitu lengkap rasanya.

 

Leave a comment