Think. Feel. Share. Inspire.

Archive for August, 2019

Hadiah terbaik dariNya

Ayah, boleh bunda pinjam nama ayah?

Untuk bunda sampaikan pada Dzat yang jiwa kita berada dalam genggamanNya, bahwa ayah adalah hadiah terbaik dariNya.

Aku mencintaimu karena Tuhanku.
Aku telah memilihmu menjadi teman sejati bagi dunia dan agamaku, dan berharap pula menjalani kehidupan akhirat bersamamu.

Terimakasih telah selalu menguatkanku di saat aku lemah dan meragukan diriku.

Terimakasih telah sabar menghadapiku saat aku dikuasai amarah dan nestapa penuh tangisan pilu.

Terimakasih telah menjadi ayah yang sangat sangat baik, dianggap pahlawan terbaik oleh putraku, putra kita.

Semoga kita bisa mendidiknya menjadi hamba Allah yang takut pada Tuhannya, yang mencintai agamanya, dan menebar manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakatnya.

Kehilangannya adalah pukulan telak

Yang ditunggu tunggu sudah kembali kepada Sang Pencipta, Yang menitipkan amanah

Ia hadir menemani dalam kandungan ibunya selama 9 bulan, dan kembali ke haribaan Robbnya

Well, life must go on…
Hadirmu menemani dalam kandungan selama 10 bulan
Lalu kau pergi ke haribaan Robbmu hanya 2 jam setelah melihat dunia
Jauh lebih singkat dibandingkan kakak pertamamu

Selamat jalan, permata jiwa

Semoga Ayah dan Bunda mampu memantaskan diri untuk berkumpul bersama di jannahNya

Kehilangan buah hati, kedua kalinya…

Masih teringat jelas saat itu.
Engkau datang ke ruang rawat seusai mengurus administrasi entah apa.
“Ayah, adik mana? Bisa dibawa kesini? Rooming in?”, tanyaku ceria, sambil sedikit menahan nyeri karena baru 5,5 jam sebelumnya menjalani sectio. Efek obat bius sepertinya mulai berkurang.
Mata itu memerah. Air menggenang di pelupuknya.
“Adik sudah ndak ada”, isakmu.
“Adik sudah diambil sama yang nitip.”
Hening.
“Adik… Adik sudah dipanggil sama yang punya.” Isakmu makin menjadi. Air mata tumpah ruah.
Deg. Semesta terasa berhenti bergerak.
Lama pikiranku mencerna rentetan kalimat itu. Aku limbung.
Kata – kata itu terus terngiang, “… diambil sama yang nitip.. dipanggil sama yang punya…”

Diksimu, Ayah, membuat kesadaranku yang sempat hilang kembali lagi perlahan.
Mendengar kabar duka itu darimu, membuatku seperti anak kecil yang sedang asyik memegang mainan, lalu terhenyak ketika mainan itu diambil oleh pemiliknya.
Nelangsa, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena sadar betul bahwa itu bukan milikku.
Ia bukanlah kepunyaanku, betapapun besarnya keinginanku memainkannya.
Diksi yang kau pilih, Ayah, membuatu tepekur. Di satu sisi tak berdaya, tapi di sisi lain ada kesadaran membuncah, bahwa sesungguhnya Allahlah tempat segalanya bermuara.
Surabaya, 30 Maret 2018
#menulisadalahterapi
#mencobamenguatkandirisendiri